BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Makalah ini merupakan pemenuhan tugas Pendidikan Agama Islam yang memang harus terpenuhi sebagai nilai tambahan yang sudah ditentukan oleh pengajar disamping itu juga makalah ini sangat bermanfaat bagi pembaca karena pada makalah ini sedikit/banyaknya terdapat ilmu yang dapat diambil sebagai pengetahuan atau wawasan.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang diberikan kesempurnaan dibandingkan makhluk lain, maka dari itu ada beberapa manusia yang memang menggunakan akalnya untuk mengkaji hal-hal yang belum ada sebagai rasa keingintauan seperti halnya pada makalah ini juga akan mengkaji yaitu diantaranya tentang filsafat Ketuhanan dalam Islam, keimanan dan ketakwaan, yang berisi dari berbagai sumber, agar makalah ini ada nilai banding dengan makalah lain.
1.2. Rumusan Masalah
Beberapa pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Siapa Tuhan itu?
2. Sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.
3. Konsep Ketuhanan Islam.
4. Bukti-bukti adanya Tuhan.
5. Definisi Iman dan Takwa
6. Proses terbentuknya Iman dan Takwa
7. Tanda-tanda orang beriman dan bertakwa
8. Serta Korelasi antara keimanan dan ketakwaan.
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah nilai dan memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Mengetahui bagaimana kosep Ketuhanan dalam Islam.
3. Mengetahui filsafat Ketuhanan dalam Islam
4. Mengkaji siapa Tuhan itu, bukti-bukti Ketuhanan dalam Islam, serta sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.
5. Mengetahui penjelasan iman dan takwa, proses terbentuknya iman dan takwa, tanda-tanda orang yang beriman dan bertakwa, dan korelasi antara keimanan dan ketakwaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Filsafat Ketuhanan Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[1]
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah Swt, kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Ketaatan merupakan karunia yang sangat besar bagi muslim dan sebagian orang yang menyebut kecerdasan spiritual yang ditindak lanjuti dengan kecerdasan sosial. Inti ketaatan tidak dinilai menurut Allah Swt, bila tidak ada nilai pada aspek sosial.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.
2.1.1. Siapa Tuhan Itu?
Lafal Ilahi yang artinya Tuhan,[2] menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan dan dipentingkan manusia, misalnya dalam surat Al-Furqon: 43 yang artinya: “Apakah engkau melihat orang yang menghilangkan keinginan-keinginan pribadinya?”
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berijisim, azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya, Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain sementara yang lain membutuhkan-Nya.[3]
Orang menyediakan hawa nafsunya, yang dipuji dalam hidupnya, berarti telah berbuat syirik yang sebenarnya menurut Islam hawa nafsu harus tunduk kepada kehendak Allah Swt. Dalam surah Al-Qoshos: 38, lafal Ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri, yang artinya:
“Dan Fir’aun berkata, wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian mempunyai Ilah selain diriku”
Bagi manusia, Tuhan itu bisa dalam bentuk konkret maupun abstrak/gaib. Al-Qur’an menegaskan Ilah bisa dalam bentuk mufrad maupun jama’ (ilah, ilahian, ilahuna). Ilah ialah sesuatu yang dipentingkan, dipuja, diminintai, diagungkan diharapkan memberikan kemaslahatan dan termasuk yang ditakuti karena mendatangkan bahaya.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 163 menegaskan, “Dan Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Ilah yang dituju ayat di atas adalah Allah Swt, yang menurut Ulama’ Ilmu Kalam Ilah di sini bermakna al-Ma’bud, artinya satu-satunya yang diibadati/disembah. Sedang Al-Matbu’, yang dicintai, yang disenangi, diikuti. Inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah, bahwa Allah Swt. satu-satunya Tuhan yang diibadahi, dicintai, disenangi, dan diikuti.
Allah Swt memfirmankan dalam Al-Qur’an surat Thoha : 14, yang artinya: “Sesungguhnya Aku Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku (Allah), maka beribadahlah hanya kepada-Ku (Allah), dan dirikanlah sholat untuk mengingatku”.
Kalimat Tauhid keesaan secara konprehensif mempunyai pengertian sebagai berikut:
· La Kholiqo illa Allah: Tiada Pencipta selain Allah
· La Roziqo illa Allah: Tiada Pemberi rizqi selain Allah
· La Hafidha illa Allah: Tiada Pemelihara selain Allah
· La Malika illa Allah: Tiada Penguasa selain Allah
· La Waliya illa Allah: Tiada Pemimpin selain Allah
· La Hakima illa Allah: Tiada Hakim selain Allah
· La Ghoyata illa Allah: Tiada Yang Maha menjadi tujuan selain Allah
· La Ma’buda illa Allah: Tiada Yang Maha disembah selain Allah
Lafal Al-ilah pada kalimat tauhid[4] menurut Ibnu Taimiyah memiliki pengertian yang dipuja dengan cinta sepenuh hati, tunduk kepada-Nya merendahkan diri di hadapan-Nya, takut dan mengharapkan kepadaNya, berserah hanya kepada-Nya ketika dalam kesulitan dan kesusahan, meminta perlindungan kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan jiwa dikala mengingat dan terpaut cinta denganNya. Ini yang disebut Tauhid Rububiyah.
Lawan tauhid adalah syirik, artinya menyekutukan Allah Swt dengan yang lain, mengakui adanya Tuhan selain Allah, menjadikan tujuan hidupnya selain kepada Allah. Dalam ilmu tauhid, syirik digunakan dalam arti mempersekutukan Tuhan selain dengan Allah Swt, baik persekutuan itu mengenai dzatNya, sifatNya atau af’alNya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya saja.
Syirik merupakan dosa yang paling besar yang tidak dapat diampuni, syirik itu bertentangan dengan perintah Allah Swt, juga berakibat merusak akal manusia, menurunkan derajat dan martabat manusia, serta membuatnya tak pantas menempati kedudukan tinggi yang telah ditentukan Allah Swt. dalam kaitannya dengan masalah ini, Allah Swt berfirman dalam surah Luqman : 13 yang artinya “Dan (ingatlah ketika Luqman berkata kepada Anaknya. Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedhaliman yang amat besar”.
Dan didalam ayat lain, Allah Swt menjelaskan bahwa orang yang telah berbuat syirik kepadaNya, tergolong orang yang telah berbuat dosa besar, sebagaimana firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, bagi siapa berkehendak. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar”. (QS. An-Nisa’: 48).
2.1.2. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
a. Pemikiran Barat
Yang dimaksud dengan konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah hasil pemikiran tentang Tuhan baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah dari penelitian rasional, maupun pengalaman batin.
Max Muller berpendapat bahwa konsep pemikiran barat tentang Tuhan mengalami evolusi yang diawali dengan Dinamisme, Animisme, Politeisme, Henoteisme, dan puncak tertingginya monoteisme (Nisbi). Pemikiran tentang Tuhan sebagaimana di atas, hasil pendekatannya adalah budaya, Arnold Toynbe mengatakan: “Monoteisme bukan hasil akhir dan proses pemikiran tentang Tuhan, sebab orang yang sudah maju dalam intelektualitasnya sangat mungkin justru berputar mundur dalam bertuhan, yakni animistis”.
b. Pemikiran Islam
Pemikiran tentang Tuhan dalam islam melahirkan ilmu kalam, ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin dikalangan umat Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan ada aliran diantara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan (teologi) dalam Islam. Aliran-aliran tersebuut adalah:
1. Muktazilah, adalah kelompok rasionalis dikalangan orang Islam, yang sangat menekankan penggunaan akal dalam memahami semua ajaran Islam. Dalam menganalisis masalah ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika guna mempertahankan keimanan.
2. Qodariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat.[5]Manusia berhak menentukan dirinya kafir atau mukmin sehingga mereka harus bertanggung jawab pada dirinya. Jadi, tidak ada investasi Tuhan dalam perbuatan manusia.
3. Jabariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa kehendak dan perbuatan manusia sudah ditentukan Tuhan. Jadi, manusia dalam hal ini tak ubahnya seperti wayang. Ikhtiar dan doa yang dilakukan manusia tidak ada gunanya.
4. Asy’ariyah dan Maturidiyah, adalah kelompok yang mengambil jalan tengah antara Qodariyah dan Jabariyah.Manusia wajib berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi, Tuhanlah yang menentukan hasilnya.
2.1.3. Konsep Ketuhanan Menurut Islam
Konsep Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret).[6] Eksistensi atau keberadaan Allah disampaikan oleh Rasul melalui wahyu kepada manusia, tetapi yang diperoleh melalui proses pemikiran atau perenungan.
Informasi melalui wahyu tentang keimanan kepada Allah dapat dibawa dalam kutipan di bawah ini:
a. Surat Al-Anbiya’ : 25 yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadaNya, bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
Sejak diutusnya Nabi Adam AS sampai Muhammad Saw Rasul terakhir. Ajaran Islam yang tAllah Swt wahyukan kepada para utusanNya adalah Tauhidullah atau monotheisine murni. Sedangkan lafadz kalimat tauhid itu adalah laa ilaha illa Allah. Ada perbedaan ajaran tentang Tuhan yang ada asalnya dari agama wahyu. Hal semacam itu disebabkan manusia mengubah ajaran tersebut. Dan hal seperti itu termasuk kebohongan yang besar (dhulmun’adhim).
b. Surat Al-Maidah : 72 “Dan Al masih berkata; Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu, sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka Allah pasti mengharamkan baginya surga dan tempatnya adalah neraka”.
c. Surat Al-Baqarah : 163 “ Dan Tuhamu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan kecuali Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang mutlak keesaannya. Lafadz Allah swt adalah isim jamid, personal nama, atau isim a’dham yang tidak dapat diterjemahkan, digantikan atau disejajarkan dengan yang lain. Seseorang yang telah mengaku Islam dan telah mengikrarkan kalimat Syahadat Laa ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) berate telah memiliki keyakinan yang benar, yaitu monoteisme murni/monoteisme mutlak. Sebagai konsekuensianya, ia harus menempatkan Allah Swt sebagai prioritas utama dalam setiap aktivitas kehidupan.
2.1.4. Bukti Adanya Tuhan
a. Keberadaan Alam semesta, sebagai bukti adanya Tuhan
Ismail Raj’I Al-Faruqi mengatakan prinsip dasar dalam Teologi Islam, yaitu Khalik dan makhluk. Khalik adalah pencipta, yakni Allah swt, hanya Dialah Tuhan yang kekal, abadi, dan transeden. Tidak selamanya mutlak Esa dan tidak bersekutu. Sedangkan makhluk adalah yang diciptakan, berdimensi ruang dan waktu, yaitu dunia, benda, tanaman, hewan, manusia, jin, malaikat langit dan bumi, surga dan neraka.
Adanya alam semesta organisasinya yang menakjubkan bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa rahasia-rahasianya yang unik, semuanya memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya.
Setiap manusia normal akan percaya bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa alam ini juga ada. Jika kita percaya tentang eksistensinya alam, secara logika kita harus percaya tentang adanya penciptaan alam semesta. Pernyataan yang mengatakan “Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya khalik, adalah suatu pernyataan yang tidak benar”.
Kita belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penciptanya, dan pencipta itu tiada lain adalah Tuhan. Dan Tuhan yang kita yakini sebagai pencipta alam semesta dan seluruh isinya ini adalah Allah Swt.
b. Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Ada pendapat dikalangan ilmuwan bahwa alam ini azali. Dalam pengertian lain alam ini mencpitakan dirinya sendiri. Ini jelas tidak mungkin, karena bertentangan dengan hukum kedua termodinamika. Hukum ini dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas yang membuktikan bahwa adanya alam ini mungkin azali.
Hukum tersebut menerangkan energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas, sedangkan kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas berubah menjadi panas. Perubahan energi yang ada dengan energi yang tidak ada.
Dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal ini membuktikan secara pasti bahwa alam bukanlah bersifat azali. Jika alam ini azali sejak dahulu alam sudah kehilangan energi dan sesuai hukum tersebut tentu tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini.
c. Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Astronomi menjelaskan bahwa jumlah bintang di langit saperti banyaknya butiran pasir yang ada di pantai seluruh dunia. Benda ala yang dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dengan bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi, dan menyelesaikan setiap edaranya selama 20 hari sekali.
Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar dari porosnya dengan kecepatan 1000 mil perjam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Dan sembilan planet tata surya termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan yang luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama dengan planet-planet dan asteroid-asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.00 mil perjam. Disamping itu masih ada ribuan sistem selain sistem tata surya kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti. Berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya. Bahkan akan menyimpulkan, bahwa dibalik semuanya itu pasti ada kekuatan yang maha besar yang membuat dan mengendalikan semuanya itu, kekuatan maha besar itu adalah Tuhan.
d. Argumentasi Qur’ani
Allah Swt. berfirman, termaktub dalam surat Al-Fatihah ayat 2 yang terjemahya “Seluruh puja dan puji hanalah milik Allah Swt, Rabb alam semesta”.
Lafadz Rabb dalam ayat tersebut, artinya Tuhan yang dimaksud adalah Allah Swt. Allah Swt sebagai “Rabb” maknanya dijelaskan dalam surat Al-A’la ayat 2-3, yang terjemahannya “Allah yang menciptakan dan menyempurnakan, yang menentukan ukuran-ukuran ciptaannya dan memberi petunjuk”. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa Allah Swt yang menciptakan ciptaannya, yaitu alam semesta, menyempurnakan, menentukan aturan-aturan dan memberi petunjukterhadap ciptaannya. Jadi, adanya alam semesta dan seisinya tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, ada yang menciptakan dan mengatur yaitu Allah Swt.
Didalam surat Al-A’raf ayat 54, termaktub yang “Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari”. Lafadz Ayyam adalah jamak dari yaum yang berarti periode. Jadi, sittati ayyam berarti enam periode dan tentunya membutuhkan proses waktu yang sangat panjang.
Dalam menciptakan sesuatu memang Allah tinggal berfirman Kun Fayakun yang artinya jadilah maka jadi. Akan tetapi, dimensi manusia dengan Allah berbeda sampai kepada manusia membutuhkan waktu enam periode. Hal ini agar manusia dapat meneliti dan mengkaji dengan metode ilmiahnya sehingga muncul atau lahir berbagai macam ilmu pengetahuan.
2.2. Keimanan dan Ketakwaan
2.2.1. Definisi Iman dan Takwa
Kata iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan yang secara etimologi berarti yakin atau percaya. Dalam surat Al-Baqarah 165, yang artinya “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”.
Iman kepada Allah berarti percaya dan cinta kepada ajaran Allah, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan apa saja untuk mewujudkan harapan dan kemauan yang menuntut Allah kepadanya.
Dalam hadits dinyatakan bahwa iman adalah hati membenarkan,lisan mengucapkan dan dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari (tashdiiqun bil qolbi waiqroru bil lisan wa’amalu bil arkan) dan iman dalam Islam termaktub dalam rukun iman sedang aplikasinya didalam rukun islam.
Iman itu mengikat orang islam, ia terikat dengan segala aturan hukum yang ada dalam islam sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karenanya, orang Islam itu harus Iman, sehingga ia meyakini ajaran Islam dan secara totalitas mengamalkannya dalam seluruh kehidupannya.
Kata taqwa berasal dari waqa-yaqi-wiqayah, yang berati takut, menjaga, memelihara, dan melindungi. Taqwa dapat diartikan memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama islam secara utuh dan konsisten (istiqomah).[7]
Pengertian taqwa secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits. Yang artinya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan_Nya (imtitsalu bi’awamirillahi wajtinabu annawahihi).
Dalam surat Al-Baqarah :117 Allah menjelaskan ciri-ciri orang yang bertaqwa, yang secara umun dikelompokkan menjadi lima indikator ketaqwaan.
1. Beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Indikator taqwa yang pertama adalah memelihara fitrah iman.
2. Mengeluarkan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan, orang yang minta-minta dana, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memerdekakan hamba sahaya. Indikator taqwa yang kedua adalah mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan melalui kesanggupan mengorbankan harta.
3. Mendirikan salat dan menunaikan zakat. Indikator taqwa yang ketiga adalah memelihara ibadah formal.
4. Menepati janji. Indikator taqwa yang keempat adalah memelihara kehormatan atau kesucian diri.
5. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan pada waktu jihad. Indikator kelima adalah memiliki semangat perjuangan.
Indikator taqwa berdasarkan ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa taqwa itu adalah sikap hidup dan akhlak seorang muslim, yang merupakan buah dan hasil didikan ibadah-ibadah formal. Sedangkan ibadah-ibadah itu sendiri adalah pancaran dari pada iman. Dapatlah dipahami bahwa taqwa itu adalah hasil dari ibadah kepada Allah, karna tidak mungkin ada taqwa tanpa ada amal ibadah.
2.2.2. Proses Terbentuknya Iman
Sejak awal seluruh Roh manusia telah mengambil kesaksian bahwa Rabb-nya Allah Swt. Ini berarti setiap manusia telah memiliki benih iman. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Qs.Al-A’raf:172 yang artinya “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.
Ditegaskan lebih lanjut dalam Qs.Ar-Rum:30 yang artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Bahwa setiap ciptaan Allah dan dalam hal ini manusia fitrahnya adalah mengesakan Allah. Artinya, fitrahnya berarti beriman kepada Allah dan berarti pula fitrahnya adalah Islam.
Potensi fitrah atau iman Islam tersebut perlu ditindaklanjuti dan yang paling berkompeten menumbuhkan potensi iman Islam tersebut adalah kedua orang tua. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad Saw yang artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Imam Ghozali menisbahkan, setiap orang mempunyai potensi untuk melihat, tetapi ia tetap tidak bisa melihat apabila tidak ada cahaya yang masuk kedalam mata, begitu juga dengan potensi iman yang dimiliki seseorang harus ditindaklanjuti oleh kedua orang tuanya, dan lingkungan mereka dibesarkan.
Pada kenyataannya bermacam agama atau kepercayaaan yang dipeluk dan dianut manusia.Dan apabila dalam diri seseorang telah terikat dengan tatanan iman,harus dikembangkan untuk mencapai iman yang kokoh. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron : 190-191 yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
2.2.3. Tanda-Tanda Orang Beriman
Di dalam Al-Qur’an telah banyak menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman.
a. Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang diterjemahkan “[594] ialah mereka yang bila disebut nama Allah [595] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.”
[594] Maksudnya: orang yang Sempurna imannya.
[595] Dimaksud dengan disebut nama Allah ialah: menyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan memuliakannya
b. Bertambah keimanannya ketika dibacakan ayat-ayat Allah.Baik ayat Qur’aniyah(Al-Qur’an) maupun ayat Kauniyah (alam semesta), kemudian bergejolak hatinya untuk segera mewujudkannya atau melaksanakannya.
c. Senantiasa bertawakal kepada Allah. Artinya secara lahiriyah mereka bersungguh-sungguh atau berusaha keras dan secata batiniyah dengan banyak berdo’a memohon dengan penuh harap kepada Allah kemudian berhasil dan tidak menyombongkan diri dan jika gagal ia bersabar. Katakanlah: “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan [646]. dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. sebab itu tunggulah, Sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu.”
[646] yaitu mendapat kemenangan atau mati syahid.
d. Mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rejeki. Mereka rajin dalam menunaikan sunnah serta menafkahkan sebagian rezekinya untuk kepentingan kemaslahatan umat dijalan yang diridhai Allah. Qs. Al-Anfal : 3 yang artinya “(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka”.
e. Memelihara amanah dan menepati janji, seorang mukmin tidak akan mudah berkhianat atas amanah yang telah dipikulnya. Akan tetapi, akan senantiasa memegang amanah dan menepati janjinya. Qs. Al-mu’minun : 6 yang artinya “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka memiliki [994]; Maka sesungguhnya mereka dalam hal inii tiada tercela.”
[994] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
f. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.
Akidah Islam sebagai keyakinan akan membentuk perilaku bahkan akan mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu Ala Al Maududi menyebutkan bahwa tanda-tanda orang yang beriman adalah sebagai berikut:
a) Menjauhkan dari pandangan yang sempit dan picik.
b) Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri.
c) Mempunyai sifat rendah hati.
d) Senantiasa jujur, adil dan amanah.
e) Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi dalam hidup.
f) Mempunyai pendirian teguh, sabar, tabah, dan optimis.
g) Mempunyai sifat satria, semangat, berani tidak gentar menghadapi resiko bahkan tidak takut terhadap maut.
h) Mempunyai sifat hidup damai dan ridha.
i) Patuh, taat, disiplin menjalankan peraturan agama.
Manfaat iman dalam kehidupan seseorang muslim:
a) Iman melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda.
b) Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut.
c) Iman menanamkan sikap self help dalam kehidupan.
d) Iman memberikan ketentraman jiwa.
e) Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayibah)
f) Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
g) Iman memberikan keberuntungan dalam kehidupan.
Demikianlah manfaat iman dalam kehidupan manusia, bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam hati manusia, tetapi dapat menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup Islami. Apabila suatu masyarakat terdiri dan orang-orang yang beriman, akan terbentuk masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera.
2.2.4. Tanda-tanda Orang Bertakwa
Adapun tanda-tanda orang bertakwa, antara lain:
a. Tidak suka bergaul kecuali bergaul dengan orang-orang yang sholeh/sholehah, yang menjaga lisannya. Bergaul dengan orang-orang sholeh karena kita akan mendapatkan banyak dakwah, masukan, kritik yang membangun dan ketenangan bila mendapatkannya dari orang-orang yang hanya mengucap kebenaran.
b. Jika mendapat musibah duniawi, ia menganggapnya sebagai ujian dari Allah SWT. Salah satu yang mengangkat diri kita di mata Allah adalah lulusnya kita dari ujian yang diberikanNya. Ujian bukan hanya yang bersifat bala musibah, namun kenikmatan dalam hidup ini adalah ujian yang lebih besar. Bila diberikan musibah orang lebih mudah ingat kepada Allah namun saat diberi ujian kenikmatan, saat itulah Allah benar-benar sedang menguji kita.
c. Jika mendapat musibah dalam urusan agama ia akan sangat menyesalinya. Teringat cerita Syaidina Umar bin Khattab yang ketinggalan satu rakaat shalat Ashar di Masjid hanya karena beliau sedang asyik berada dalam kebun kurmanya. Mengetahui dirinya telah tertinggal satu rakaat dalam berjamaah, Syaidina Umar pun begitu menyesali perbuatannya sehingga kebun kurma yang dianggap sebagai penyebab musibah itu akhirnya dijual.
d. Tidak suka memenuhi perutnya dengan makanan haram & tidak sampai kenyang. Ini merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah yang berbunyi ‘Makanlah sebelum engkau lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang’. Sungguh suatu perintah yang seakan-akan mudah dilaksanakan namun saat mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari betapa sulitnya melakukan hal itu. Dari sinilah bentuk ketakwaan seorang mukmin dibentuk.
e. Apabila memandang orang lain, orang itu lebih sholeh dari dirinya. Tapi bila memandang diri sendiri, dirinya adalah orang yang penuh dosa.[8]
f. Beriman kepada Allah dan yang ghaib.
g. Sholat, zakat, puasa.
h. Infak disaat lapang dan sempit.
i. Menahan amarah dan memaafkaan orang lain.
j. Takut pada Allah
k. Menepati janji.
2.2.5. Korelasi antara Keimanan dan Ketakwaan
Keimanan dan ketaqwaan tidak dapat dipisahkan dan pada hakikatnya keduanya saling memerlukan. Artinya keimanan diperlukan manusia agar dapat meraih ketakwaan. Karena setiap perbuatan atau amalan yang baik, akan diterima oleh Allah tanpa didasari oleh Iman.
Semua bentuk ketakwaan seperti salat, puasa, zakat, dan haji merupakan bagian dan kesempurnaan iman seseorang. Amal saleh tersebut merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang harus menterjemahkan keyakinannya menjadi kongkret dan menjadi satu sikap budaya untuk mengembangkan amal saleh.
Dalam Al-Qur’an ada ratusan ayat yang menggandengkan antara “orang yang beriman” dengan “orang yang beramal saleh”. Iman dan amal saleh atau iman dan takwa sangat dekat. Seolah hampa dan kosong iman seseorang kalau tanpa amal saleh yang menyertainya. Yang secara kongkrit membuktikan bahwa ada iman dalam hatinya. Iman adalah pondasi dasar seseorang hamba yang menghendaki bangunan kesempurnaan taqwa dirinya.
Keterkaitan antara iman dan taqwa ini, juga disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Al imanu’uryanun walibasuhu at-taqwa” (iman itu telanjang dan pakaiannya adalah taqwa). Maksud hadits ini adalah iman harus diikuti dengan melakukan amal saleh (taqwa). Iman tanpa disertai amal saleh maka imannya masih telanjang tanpa pakaian.
Oleh karenanya, seseorang baru dinyatakan beriman dan taqwa apabila telah punya keyakinan yang mantap dalam hati, kemudian mengucapkan kalimat tauhid dan kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Setelah menyelesaikan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa konsep Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Kata iman berasal dari bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan, yang secara ethimologi berarti yakin atau percaya. Sedangkan takwa berasal dari bahasa Arab, yaitu waqa-yuwaqi-wiqayah, secara ethimologi artinya hati-hati, waspada, mawasdiri, memelihara, dan melindungi. Pengertian Takwa secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits, yang artinya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
3.2. Saran
Sebagai seorang pemula, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Karena saran dan kritik itu akan bermanfaat bagi kami untuk memperbaiki atau memperdalam kajian ini.
[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45.
[2] Agung, Konsep Ketuhanan Dalam Islam, http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/ konsep-ketuhanan-dalam-islam/, 01 Oktober 2013, Pukul 20.03 WIB.
[3] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam, PT. Raja Grofinda Bersada, Jakarta, Hlm. 129-130.
[4] Abdurrahim, dkk, Kuliah Tauhid, Yayasan Sari Intan, Jakarta, 1989, Hlm. 103.
[5] Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan dalam Islam, http://asrianggun2012.blogspot.com /2012/10/ makalah-konsep-ketuhanan.html, 01 Oktober 2013, Pukul 20.42 WIB.
[6] Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan dalam Islam, http://asrianggun2012.blogspot.com /2012/10/ makalah-konsep-ketuhanan.html, 01 Oktober 2013, Pukul 21.24 WIB.
[7] Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, 2001, Hlm. 179.
[8] Abatasa, Lima Tanda Orang Bertaqwa Menurut Syaidina Usman Bin Affan, http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/1/1205/5-tanda-orang-bertaqwa-menurut-syaidinna-usman-bin-affan, 01 Oktober 2013, Pukul 19.42 WIB.
No comments:
Post a Comment